mencari setitik cahaya

Minggu, 24 Januari 2010

" ... yang terlupakan "

Dulu engkau datang padaku
Penuh dengan harapan rasa
Beri aku kebahagiaan semu
Hiasi hari penuh dengan kata

Hari-hari lupakan waktu
Temani kamu dalam masaku
Engkau datang penuhi hati
Tanpa ada yang tersakiti

Engkau ada temani rasa
Hingga jiwapun lupakan raga
Engkau lenyap entah kemana
Hanya bias yang tak pernah ada


Resah hati ...
Resah jiwa ...
resah raga ...
akan kepergiaanmu

Sakit rasa ...
Sakit jiwa ...
Sakit raga ...
temani mimpi tanpa angan

Perjalanan yang terhenti.....(2)

sendiri melalui jalan aspal berlobang untuk dapatkan ungkapan rasa.
meniti panasnya gumpalan hitam tempat ku melangkah untuk capai segala anganku.
ditemani teriknya sang penguasa cahaya bumi yang hanguskan setiap sendi-sendi ragaku, aku tetap berjalan mengarungi rasa yang entah dimana ujungnya.
peluhku keluar pelan dibelahan pipiku bagaikan anak sungai kering yang jauh dari induknya.
aku tetap membawa ragaku mencari tujuan dari mimpiku.
tanpa kusadari setelah berjalan, kulewati berbagai pernak pernik indahnya hidup, pedihnya manusia berlalu lalang mencari apa yang akan mereka gapai.
kuterdiam disudut kota yang berpenghuni sambil merebahkan ragaku duduk beralaskan selokan berbau kotoran sampah yang menyengat hidungku. mencoba meredakan tarikan nafasku yang berat setelah kuberjalan waktu yang lalu.
kupejamkan mata melihat kunang-kunang yang berterbangan dikelopak mataku, seakan aku terbang diantara bintang-bintang dilangit yang terang benderang menerangi hidupku.
tersentak ku bangun dari lamunan mimpiku, ketika seorang sosok nenek yang memintaku untuk memberikan sekeping uang logam buat ia makan, karna sejak pagi ia (nenek) belum merasakan sesuap nasipun masuk kedalam kerongkongan mulutnya. ku masukkan tangan kecilku kedalam saku celana usangku dan mengambil sekeping keberuntungan sisa terakhir yang ku punya. kuberikan keping keberuntunganku dan ia bergegas pergi meninggalkan aku yang duduk di tepi jalan tanpa ada yang menemani.
kuberdiri dari keterpurukan dan berlalu mengikuti langkah kakiku yang memiliki mimpi untuk masa depanku.
kuberjalan dan terus berjalan hingga usia menggerogoti akan raga
.....................


by Andre Gozhonk

Kamis, 21 Januari 2010

" telepon dari ENGKAU..."




Kriiing...kriing...kriing...
Suara yang bermuara dari sudut ruangan, berdering terus menerus membuat gendang telinga risih untuk cepat menggapai sesuatu benda modern yang menyatukan antara mulut bauku dengan indra pendengaranku.
” hallo...selamat mejelang pagi (pukul 01.00) ” kataku sopan, ”hallo...hallo...” kataku lagi berulang kali, tapi ternyata hanya kebisuan yang aku dengarkan, keheningan yang aku rasakan. Kututup gagang alat itu, dan kududuk merebahkan ragaku disofa empuk made italia yang halus dan membuat nyaman ragaku tepat disamping benda yang ganggu tidurku.
Ku pejamkan kedua mataku untuk melanjutkan mimpi indah yang hiasi jiwaku. Hanya detikan waktu yang terus berputar hiasi telingaku dan keheningan dalam kehampaan ruangan ini. Aku lelap dan terlelap...

Kriing...kriing...kriing...
Suara itu lagi tergiang ditelingaku, bergegas aku memegang benda itu dan menempelkan didaun telinggaku, ”hallo...selamat menjelang pagi (pukul 01.15” kataku dengan nada pelan dengan mata masih tertutup yang terbawa hawa kantukku. ”hallo...hallo...” lagi-lagi hanya kebisuan yang ku dengar. Kebisuan yang terlekat ditelingaku membuat ku terbangun dan meletakkan kembali benda modern itu. Ku berdiri dan berjalan menuju ruangan yang terletak didekat tempat ku tertidur. Ku membuka sebuah lemari berhawa dingin hingga tembus dikulit ariku yang tipis. Kuambil benda kaca yang serupa dengan dot bayi punya adikku. Ku teguk isi yang ada dibenda itu, hingga dahaga ku hilang terbawa aliran yang masuk didalam jiwaku.

Kriiing...Kriiing...Kriiing....
Untuk ketiga kalinya benda itu berdering dan membuatku untuk bergegas mendekati benda modern ciptaan Alexander Graham Bell insan tua yang telah hiasi bumi dengan karyanya. ”Hallo...selamat menjelang pagi (pukul 01.35)” kataku dengan nada yang tetap sopan, santun aku menunggu jawab dari penelpon yang hanya diam membisu dalam keheningan. ”hallo...ini siapa” kataku, ”dengan siapa ya...” lanjutku, tapi apa yang ku dapat, tidak ada jawaban dari kebisuan ini. Kututup kembali gagang benda modern itu, dan dalam hati aku bertanya ”siapa yang iseng dihari baru ini ?”, ”siapa ngerjain aku dengan suara bising itu ?”, ”apa tidak ada kerjaan ya...? sipenelepon itu”. Sambil kulanjutkan lagi satukan jiwa dan ragaku dalam keheningan mimpi.

Kriing...kriing...kriing... (pukul 02.35)
Sayup kudengar suara itu memanggilku. Ku acuhkan saja suara bising itu berteriak ditelingaku dan memenuhi ruangan ini. Walau suara itu mengganggu mimpi yang bergelut dalam jiwa dan ragaku. Aku tetap pejamkan mataku walau penuh dengan paksaan, hingga keningku bagaikan ombak dilautan yang diterpa badai.


Kriiing...Kriiing...Kriiing...
Suara itu datang lagi, setelah sekian lama tak menghampiri tidurku. Ku terbangun dan jalan tertatih menuju ke benda yang menyatukan mulut dan telingaku. Kuangkat dan kutempelkan ditelingaku, ”hallo... selamat pagi (pukul 04.00)” Kataku sabar. ”hallo...hallo...” mulai kesal, ”Wahai engkau yang disana, kalau tidak niat bicara tidak usah engkau mengganggu tidurku dengan suara bising...” kataku penuh dengan emosi. Seakan aku ingin memakan benda yang kepegang dengan kata-kata yang kasar penuh dengan kemurkaan. Ku letakkan kembali gagang benda itu pada tempatnya dengan membanting hingga terdengar suara keras bagaikan gemuruh dipagi hari.

Kriing...Kriing...Kriing...
Untuk sekian kali dengan waktu yang berdekatan, suara itu menggangguku. Belum sempat kuletakkan ragaku disofa mahal itu, aku begegas menggapai benda modern itu. ”hei...siapa pun kamu, aku tidak peduli...apa kamu bisu...?” kataku keras sambil berteriak. ”Jangan ganggu aku lagi...PAHAM...”lanjutku.
” Selamat pagi, kenapa engkau marah pada KU...” katanya, suara yang pertama kali keluar dari kebisuan. ”apakah AKU tidak boleh menyapamu setiap waktu..” lanjutnya. Aku hanya diam terpaku mendengarkan pertanyaan dari kebisuan. Jantungku seperti tak berdetak, berhenti seketika bagaikan jiwaku sudah mati terlepas dari ragaku.
” engkau selalu memohon kepada KU, disaat engkau penuh dengan cobaan dan kesedihan. Tapi disaat engkau penuh dengan kegembiraan dan ketenangan hati, engkau lupakan AKU ” lanjut suara yang keluar dari kebisingan. Dan Dia menutup semua pembicaraan ini dengan kata terakhir ” AKU mengampuni engkau”.
Aku masih terdiam, bagaikan terpaku di sepotong kayu dan mulutku terikat oleh kain usang yang membungkam suaraku. Seakan aku ingin berteriak, namun hanya air mata yang mengalir disela-sela pipiku dan penyesalan yang mengganggu jiwa dan hatiku. Hanya satu kata yang dapat terucap dari angganku ;

” Kapan aku dapatkan lagi TELEPON dari MU ...”

by Andre Gozhonk

" Machete ... "

Machete …

Tajam mata indahmu
Ramping tubuh mulusmu
Machete …
Gambarkan dua sisi yang berbeda
Namun ragamu tetap satu
Machete ...
Sakit dan pedih bila engkau menyayat
Membuat insan takut padamu
Machete ...
Daun ratingpun luluh padamu
Daun kering hiasi ragamu
Machete ...
Begitu tajam saat menyentuhmu
Hingga batupun terkikis saat dekatmu
Machete ...
Tajam benar engkau
Hingga jiwa dan ragamu
Pudarkan nafsu setiap insan

Rabu, 20 Januari 2010

" Hilangnya RASA "


Rasa ......
kemana engkau pergi
dimana engkau ada
Rasa .....
engkau pergi entah kemana
engkau ada penuh dengan makna
Rasa .....
pergi dan datang maknai hati
ada dan tiada temani mimpi
Rasa .....
maknai hati penuhi hari
temani mimpi dalam lamunan
Rasa .....
penuhi hari satukan raga
dalam lamunan iringi jiwa
Rasa .....
satukan raga untuk miliki
iringi jiwa miliki raga
Kemanakah Rasa ......?
Dimanakah Rasa ......?


By Andre Gozhonk

" ...jiwa menunggu hati..."



Sepi .....
Hening .....
Terdiam dalam dinginnya malam
Duduk merenung akan hidup


Sepi .....
Hening .....
Rebahkan raga dalam rasa
Satukan jiwa satukan angan


Sepi .....
Hening .....
Alunan musik malam temani hati
Lepaskan rasa inginkan mimpi


Sepi .....
Hening .....
Kesendirian sadarkan angan
Capai mimpi akan kehidupan


Angan .....
Mimpi .....
Temani rasa akan hidup
Satukan jiwa menunggu hati

by Andre Gozhonk

Selasa, 19 Januari 2010

" perjalanan yang terhenti...."


Setapak demi setapak langkah kakiku menapak, menit demi menit waktu yang kulalui, hingga rembulan mengintip dari awan gelap seakan takut akan wajahku yang muram bagaikan mendung disiang hari yang penuh dengan kilatan petir menyambar sebatang dahan pohon rindang ditepi jalan depan rumahku.
Ku duduk dipinggiran rumah yang dikelilingi susunan batang kayu tak beraturan setelah ku lelah menghitung langkah kedua kakiku yang kaku. Termenung duduk menatap atap bumi yang sedang bermuram, gelap tanpa titik-titik putih yang bersinar seperti lampu-lampu jalan yang menerangi hati ini. berpikir dan menghayal yang tidak mungkin dapat ku gapai.
Ku rebahkan punggungku disandaran kayu yang telah lapuk dimakan usia, hingga kakiku lurus bagaikan anak panah yang siap lepas dari busurnya. hingga dapat kurasakan aliran darah yang mengalir setelah terbendung oleh ketegangan. sambil melanjutkan menatap awan gelapku yang diiringi suara gelegar petir yang meyala membelah bumi. Ber alasakan kayu rapuh dan beratapkan sambaran petir ku termenung memikirkan rasa yang ada untuk hidupku.
Kemana harus kucari hidupku untuk penuhi rasa, dan sampai kapan pula harus kuarungi jalan untuk dapatkan rasa ? 
haruskah kuberhenti untuk diam dan hanya bersandar pada masa yang menegangkan tanpa untuk melanjutkan perjalanan ...? 

by Andre Gozhonk

" PUISI NYAYIAN ANGSA - W.S Rendra "



NYANYIAN ANGSA
karya W.S Rendra

Majikan rumah pelacuran berkata kepadanya:
“Sudah dua minggu kamu berbaring. Sakitmu makin menjadi.
Kamu tak lagi hasilkan uang. Malahan kapadaku kamu berhutang.
Ini beaya melulu. Aku tak kuat lagi.
Hari ini kamu harus pergi.”
(Malaikat penjaga Firdaus. Wajahnya tegas dan dengki
dengan pedang yang menyala menuding kepadaku.
Maka darahku terus beku.
Maria Zaitun namaku. Pelacur yang sengsara.
Kurang cantik dan agak tua).
Jam dua-belas siang hari. Matahari terik di tengah langit.
Tak ada angin. Tak mega.
Maria Zaitun ke luar rumah pelacuran.
Tanpa koper.
Tak ada lagi miliknya.
Teman-temannya membuang muka.
Sempoyongan ia berjalan.
Badannya demam. Sipilis membakar tubuhnya.
Penuh borok di klangkang, di leher, di ketiak, dan di susunya.
Matanya merah. Bibirnya kering. Gusinya berdarah.
Sakit jantungnya kambuh pula.
Ia pergi kepada dokter. Banyak pasien lebih dulu menunggu.
Ia duduk di antara mereka.
Tiba-tiba orang-orang menyingkir dan menutup hidung mereka.
Ia meledak marah, tapi buru-buru jururawat menariknya.
Ia diberi giliran lebih dulu
dan tak ada orang memprotesnya.
“Maria Zaitun, utangmu sudah banyak padaku,” kata dokter.
“Ya,” jawabnya.
“Sekarang uangmu brapa?”
“Tak ada.”
Dokter geleng kepala dan menyuruhnya telanjang.
Ia kesakitan waktu membuka baju
sebab bajunya lekat di borok ketiaknya.
“Cukup,” kata dokter.
Dan ia tak jadi mriksa.
Lalu ia berbisik kepada jururawat:
“Kasih ia injeksi vitamin C.”
Dengan kaget jururawat berbisik kembali:
“Vitamin C?
Dokter, paling tidak ia perlu Salvarzan.”
“Untuk apa?
Ia tak bisa bayar.
Dan lagi sudah jelas ia hampir mati.
Kenapa mesti dikasih obat mahal
yang diimport dari luar negri?”



(Malaikat penjaga Firdaus. Wajahnya iri dan dengki
dengan pedang yang menyala menuding kepadaku.
Aku gemetar ketakutan.
Hilang rasa. Hilang pikirku.
Maria Zaitun namaku.
Pelacur yang takut dan celaka.)
Jam satu siang. Matahari masih dipuncak.
Maria Zaitun berjalan tanpa sepatu.
Dan aspal jalan yang jelek mutunya
lumer di bawah kakinya.
Ia berjalan menuju gereja.
Pintu gereja telah dikunci.
Karna kuatir akan pencuri.
Ia menuju pastoran dan menekan bel pintu.
Koster ke luar dan berkata:
“Kamu mau apa?
Pastor sedang makan siang.
Dan ini bukan jam bicara.”
“Maaf. Saya sakit. Ini perlu.”
Koster meneliti tubuhnya yang kotor dan berbau.
Lalu berkata:
“Asal tinggal di luar, kamu boleh tunggu.
Aku lihat apa pastor mau terima kamu.”
Lalu koster pergi menutup pintu.
Ia menunggu sambil blingsatan dan kepanasan.
Ada satu jam baru pastor datang kepadanya.
Setelah mengorek sisa makanan dari giginya
ia nyalakan crutu, lalu bertanya:
“Kamu perlu apa?”
Bau anggur dari mulutnya.
Selopnya dari kulit buaya.
Maria Zaitun menjawabnya:
“Mau mengaku dosa.”
“Tapi ini bukan jam bicara.
Ini waktu saya untuk berdo’a.”
“Saya mau mati.”
“Kamu sakit?”
“Ya. Saya kena rajasinga.”
Mendengar ini pastor mundur dua tindak.
Mukanya mungkret.
Akhirnya agak keder ia kembali bersuara:
“Apa kamu – mm – kupu-kupu malam?”
“Saya pelacur. Ya.”
“Santo Petrus! Tapi kamu Katolik!”
“Ya.”
“Santo Petrus!”
Tiga detik tanpa suara.
Matahari terus menyala.
Lalu pastor kembali bersuara:
“Kamu telah tergoda dosa.”
“Tidak tergoda. Tapi melulu berdosa.”
“Kamu telah terbujuk setan.”
“Tidak. Saya terdesak kemiskinan.
Dan gagal mencari kerja.”
“Santo Petrus!”
“Santo Petrus! Pater, dengarkan saya.
Saya tak butuh tahu asal usul dosa saya.
Yang nyata hidup saya sudah gagal.
Jiwa saya kalut. Dan saya mau mati.
Sekarang saya takut sekali.
Saya perlu Tuhan atau apa saja
untuk menemani saya.”
Dan muka pastor menjadi merah padam.
Ia menuding Maria Zaitun.
“Kamu galak seperti macan betina.
Barangkali kamu akan gila.
Tapi tak akan mati.
Kamu tak perlu pastor.
Kamu perlu dokter jiwa.”



(Malaekat penjaga firdaus wajahnya sombong dan dengki
dengan pedang yang menyala menuding kepadaku.
Aku lesu tak berdaya.
Tak bisa nangis. Tak bisa bersuara.
Maria Zaitun namaku.
Pelacur yang lapar dan dahaga.)
Jam tiga siang.
Matahari terus menyala.
Dan angin tetap tak ada.
Maria Zaitun bersijingkat
di atas jalan yang terbakar.
Tiba-tiba ketika nyebrang jalan
ia kepleset kotoran anjing.
Ia tak jatuh
tapi darah keluar dari borok di klangkangnya
dan meleleh ke kakinya.
Seperti sapi tengah melahirkan
ia berjalan sambil mengangkang.
Di dekat pasar ia berhenti.
Pandangnya berkunang-kunang.
Napasnya pendek-pendek. Ia merasa lapar.
Orang-orang pergi menghindar.
Lalu ia berjalan ke belakang satu retoran.
Dari tong sampah ia kumpulkan sisa makanan.
Kemudian ia bungkus hati-hati
dengan daun pisang.
Lalu berjalan menuju ke luar kota.
(Malaekat penjaga firdaus
wajahnya dingin dan dengki
dengan pedang yang menyala
menuding kepadaku.
Yang Mulya, dengarkanlah aku.
Maria Zaitun namaku.
Pelacur lemah, gemetar ketakutan.)
Jam empat siang.
Seperti siput ia berjalan.
Bungkusan sisa makanan masih di tangan
belum lagi dimakan.
Keringatnya bercucuran.
Rambutnya jadi tipis.
Mukanya kurus dan hijau
seperti jeruk yang kering.
Lalu jam lima.
Ia sampai di luar kota.
Jalan tak lagi beraspal
tapi debu melulu.
Ia memandang matahari
dan pelan berkata: “Bedebah.”
Sesudah berjalan satu kilo lagi
ia tinggalkan jalan raya
dan berbelok masuk sawah
berjalan di pematang.



(Malaekat penjaga firdaus
wajahnya tampan dan dengki
dengan pedang yang menyala
mengusirku pergi.
Dan dengan rasa jijik
ia tusukkan pedangnya perkasa
di antara kelangkangku.
Dengarkan, Yang Mulya.
Maria Zaitun namaku.
Pelacur yang kalah.
Pelacur terhina).
Jam enam sore.
Maria Zaitun sampai ke kali.
Angin bertiup.
Matahari turun.
Haripun senja.
Dengan lega ia rebah di pinggir kali.
Ia basuh kaki, tangan, dan mukanya.
Lalu ia makan pelan-pelan.
Baru sedikit ia berhenti.
Badannya masih lemas
tapi nafsu makannya tak ada lagi.
Lalu ia minum air kali.



(Malaekat penjaga firdaus
tak kau rasakah bahwa senja telah tiba
angin turun dari gunung
dan hari merebahkan badannya?
Malaekat penjaga firdaus
dengan tegas mengusirku.
Bagai patung ia berdiri.
Dan pedangnya menyala.)
Jam tujuh. Dan malam tiba.
Serangga bersuiran.
Air kali terantuk batu-batu.
Pohon-pohon dan semak-semak di dua tepi kali nampak tenang
dan mengkilat di bawah sinar bulan.
Maria Zaitun tak takut lagi.
Ia teringat masa kanak-kanak dan remajanya.
Mandi di kali dengan ibunya.
Memanjat pohonan.
Dan memancing ikan dengan pacarnya.
Ia tak lagi merasa sepi.
Dan takutnya pergi.
Ia merasa bertemu sobat lama.
Tapi lalu ia pingin lebih jauh cerita tentang hidupnya.
Lantaran itu ia sadar lagi kegagalan hidupnya.
Ia jadi berduka.
Dan mengadu pada sobatnya
sembari menangis tersedu-sedu.
Ini tak baik buat penyakit jantungnya.



 (Malaekat penjaga firdaus
wajahnya dingin dan dengki.
Ia tak mau mendengar jawabku.
Ia tak mau melihat mataku.
Sia-sia mencoba bicara padanya.
Dengan angkuh ia berdiri.
Dan pedangnya menyala.)
Waktu. Bulan. Pohonan. Kali.
Borok. Sipilis. Perempuan.
Bagai kaca
kali memantul cahaya gemilang.
Rumput ilalang berkilatan.
Bulan.
Seorang lelaki datang di seberang kali.
Ia berseru: “Maria Zaitun, engkaukah itu?”
“Ya,” jawab Maria Zaitun keheranan.
Lelaki itu menyeberang kali.
Ia tegap dan elok wajahnya.
Rambutnya ikal dan matanya lebar.
Maria Zaitun berdebar hatinya.
Ia seperti pernah kenal lelaki itu.
Entah di mana.
Yang terang tidak di ranjang.
Itu sayang. Sebab ia suka lelaki seperti dia.
“Jadi kita ketemu di sini,” kata lelaki itu.
Maria Zaitun tak tahu apa jawabnya.
Sedang sementara ia keheranan
lelaki itu membungkuk mencium mulutnya.
Ia merasa seperti minum air kelapa.
Belum pernah ia merasa ciuman seperti itu.
Lalu lelaki itu membuka kutangnya.
Ia tak berdaya dan memang suka.
Ia menyerah.
Dengan mata terpejam
ia merasa berlayar
ke samudra yang belum pernah dikenalnya.
Dan setelah selesai
ia berkata kasmaran:
“Semula kusangka hanya impian
bahwa hal ini bisa kualami.
Semula tak berani kuharapkan
bahwa lelaki tampan seperti kau
bakal lewat dalam hidupku.”
Dengan penuh penghargaan lelaki itu memandang kepadanya.
Lalu tersenyum dengan hormat dan sabar.
“Siapakah namamu?” Maria Zaitun bertanya.
“Mempelai,” jawabnya.
“Lihatlah. Engkau melucu.”
Dan sambil berkata begitu
Maria Zaitun menciumi seluruh tubuh lelaki itu.
Tiba-tiba ia terhenti.
Ia jumpai bekas-bekas luka di tubuh pahlawannya.
Di lambung kiri.
Di dua tapak tangan.
Di dua tapak kaki.
Maria Zaitun pelan berkata:
“Aku tahu siapa kamu.”
Lalu menebak lelaki itu dengan pandang matanya.
Lelaki itu menganggukkan kepala: “Betul. Ya.”



 (Malaekat penjaga firdaus wajahnya jahat dan dengki
dengan pedang yang menyala tak bisa apa-apa.
Dengan kaku ia beku.
Tak berani lagi menuding padaku.
Aku tak takut lagi.
Sepi dan duka telah sirna.
Sambil menari kumasuki taman firdaus
dan kumakan apel sepuasku.
Maria Zaitun namaku.
Pelacur dan pengantin adalah saya.)

" isi AKU "


nan jauh disana
ungkapkan hati sendiriku
kalut hati memandang
enggankan hati untuk melangkah

nan jauh ku berlari
untuk mengejar yang tak pasti

kemanapun kaki melangkah
enggan hati untuk bertanya

nan jauh ku memandang
usiaku semakin tua
kemana harus ku berpijak
entah berapa lama kuat ragaku

nan jauh harus melangkah
untuk gapai yang tak terlihat
karna hati terasa gundah
entah apa yang ku rasa 


namun hati tak dapat berbohong
ungkapkan rasa untuk memiliki
kesal telah hilang dari fisikku
enggan hati berpaling darimu

by Andre Gozhonk


Senin, 18 Januari 2010

" Jalani HIDUP "




Langkah demi langkah kujalani apa yang kutempuh. Bagaikan seekor burung gereja yang mencari ranting dedaunan untuk pondok anak-anaknya. Mencoba mengais sesuap makanan kecil untuk mengotori sela-sela gigi emasku. Dan tanpa berhenti ku berjalan, meniti garis putih marka jalan yang tak ada ujungnya. Ingin aku berjalan bagai garis putih dibawah alas kakiku yang semakin membusuk.Putih bersih dan tak ada terputus. Bagai senyummu dibalik parasmu yang tertutup oleh helai demi helai rambut panjangmu. Samar tampak belahan bibirmu terbuka. Seakan ungkapkan rasa yang ingin kau ucapkan. Dimana dan kemana aku melangkah. Pagi, siang hingga malam hanya termenung. Menunggu hari esok yang akan kujalani. Dingin dan panasnya membakar setiap sendi tubuhku, menusuk hingga dibawah kulit kasarku. Merangkak aku letih jalani hidupku. Tanpa ada siapapun mengajakku untuk berdiri mengarungi beban dunia yang aku tanggung.

Mengapa Engkau beri beban padaKU 


                                         by Andre Gozhonk

" KAU DENGAR "



Ku gapai engkau begitu mudah
Namun kau pergi jauh dari pandangku
Suaraku kau dengar memanggilmu
Hanya diam engkau terpaku

Engkau dekat bila ku menyentuhmu
Mendengarkan suara angin menghembusmu

 
Kau dengar namaku dan orang sekelilingmu
Yang ingin dekat dengan dirimu

Resapi diri untuk memilih
Hingga gundah ganggu hatiku
Karna engkau aku memilih
Suara apa yang mengganggumu

Dimana engkau pergi saat ku membutuhkanmu
Hingga engkau tak nampak dari pandangku
Kenapa engkau jauh dari hatiku
Hingga kau dengarkan suara-suara mengganggumu



                                             by Andre Gozhonk

"... Kasih Ku "

Nirwana hangatkan jiwaku
Ungkapkan hati gundahku
Galau ingin bersamamu
Raih angan dengan dirimu

Andai langkah kaki membawaku
Hentikan waktu jalani hidupku
Enggan rasa tanpa dirimu
Nikmati masa penuh senyummu

Indahnya pipi merona dari parasmu
Menyelimuti hati lepaskan anganku
Ungkapkan kata bisikan ke telingamu
Nantikan hari saat beersamaku

Dimanakah engkau kasih ku
Impianku hanya padamu
Matahari telah membawaku
Ungkapkan rasa hanya untukmu

Langkah demi langkah mencarimu
Yakinkan hati akan rasaku
Andai ku dekat dengan dirimu
Nirwana kan berbisik padaku

Ingatkan AKU akan KASIH KU




                                         





 by Andre Gozhonk